MEMBERI
HUKUMAN KEPADA SISWA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Oleh
:
MUHARIL.S.Pd
Dalam
teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman
(punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku
agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan. Dalam hal ini, hukuman
diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh
orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon
atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Sebagai
contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak
diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah
satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain
itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan
jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa
itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu
cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman
diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar
dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul
Mujib dan Jusuf Mdzakkir. Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi
tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi
membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana
hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data
diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan
saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib
ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu
melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di
usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[9]
Paul Chanche
mengartikan hukuman adalah
“The procedure of
decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive
consequence”
(Prosedur penurunan
kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing the
likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan
kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah
konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai
contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00).
Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3
hari. Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai
prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah
lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi
negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini
berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang
berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin
telah memberi pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa
pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi
sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”
Pendidik harus tahu
keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai
akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang
berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam menggunakan
hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki
kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan
hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan
pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum
dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh
Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.
Dari
beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman
dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak
baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda
atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah
diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai.
2. Dasar
Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik
muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai
dengan firman Allah dan sunah Rasul-Nya.
Ayat
al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat
34, yang berbunyi:
والتي تخا فو ن نشو ز هن
فعضو هن و ا هجر و هن في ا لمضا جع و ا ضر بو هن جقا ت ا طعتكم فلا
تبغو ا عليهن سبيلا قلي
“Wanita yang kamu
khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat
tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)
Dalam
ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki
pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan
laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat
dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas,
beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini,
tetapi ada juga yang tidak. Maka diberikan alternative hukuman berikutnya,
yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Di mana Allah memerintahkan untuk memisahkan
para isteri yang melanggar aturan tersebut, dengan tidak mempedulikan atau
mengabaikannya. Suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya
secara fisik dan membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Itulah yang
dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah
tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke
tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir,
dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang
berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Demikian
pula terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma
agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah
lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil
maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau
mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu tidak belum juga berhasil
maka pendidik bisa menggunakan pukulan.
Adapun perintah
mendidik anak, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
عن عمر و بن سعيب عن ا بيه
عن جد ه قا ل: قا ل ر سو ل لله صلي ا لله عليه و سلم مرو ا لا د كم با لصلاة و هم ا
بنا ء سبع سنين, وا ضربو هم عليها و هم ا بنا ء عشر, و فر قو ا بينهم فى المضا جع
“Dari Amr bin Syu’aib
ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu
melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di
usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[14]
Dari Firman Allah Saw
dan hadist Nabi Muhammad Saw, kita dapat menjadikannya sebagai dasar hukum
pemberian hukuman dalam pendidikan Islam.
3. Tujuan Hukuman
dalam Pendidikan Islam
Apa sebenarnya tujuan
orangtua dan pendidik ketika memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah
persoalan yang ringan, karena dari beerapa kasus di awal pembahasan tadi,
ternyata masih banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah.
Bahkan ada yang menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja.
Dalam kondisi ini, Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari
pemberian hukuman adalah menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi
melakukan kesalahan.
M.
Mgalim Purwanto mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat
orang tentang teori-teori hukuman, yaitu:
a.
Teori Pembalasan
Menurut
teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang
telah dilakukan seseorang.
b.
Teori Perbaikan
Menurut
teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si
pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.
c.
Teori Pelindungan
Menurut teori ini,
hukuman diadakan ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak
wajar.
d.
Teori Ganti Kerugian
Menurut teori ini,
hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat
dari kejahatan atau pelanggaran itu.
e.
Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini,
hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan
akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan
perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap
karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi
saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain.
Sedangkan
tujuan hukuman menurut M. Arifin ada dua, yaitu:
Membangkitkan perasaan
tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa
aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
Memperkuat atau
memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi
yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang
sebanding dengan tujuan pokoknya. Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami
bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki
tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan
sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas
kesalahannya.
4. Macam-macam
Hukuman dalam Pendidikan Islam
Ada beberapa pendapat
dalam mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah:
Dalam buku Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto, ada beberapa pendapat yang
membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu:
1)
Hukuman Preventiv, yaitu hukuman
yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Jadi,
hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan.
2)
Hukuman Represif, yaitu hukuman yang
dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah
diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah terjadi pelanggaran.
Sementara
itu W. Stern membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang
menerima hukuman itu.[17]
1)
Hukuman Asosiatif, yaitu penderitaan
akibat dari pemberian hukuman ada kaitannya dengan perbuatan pelanggaran yang
dilakukannya. Dengan kata lain hukuman itu diasosiasikan dengan pelanggarannya.
2)
Hukuman Logis, yaitu anak dihukum
hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini diberikan pada anak yang sudah agak
besar yang sudah mampu memahami bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan
yang diperbuatnya.
3)
Hukuman Normatif, bermasud
memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat hubungannya dengan
pembentukan watak anak-anak.
Ada
pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)
Hukuman Alam, yang dikemukakan oleh
JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme berpendapat kalau ada anak yang melakukan
kesalahan jangan dihukum, biarlah alam yang menghukumnya. Dengan kata lain,
biarlah anak kapok atau jera dengan sendirinya.
2)
Hukuman Yang Disengaja, hukuman ini
dilakukan dengan sengaja dan bertujuan.
Syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)
Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan,
perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah.
2)
Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan
pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir,
mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari
ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan.
Dari beberapa macam
hukuman di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya hukuman
preventiv dan represif, karena sebenarnya dalam ilmu pendidikan, kedua istilah
itu tidak tepat kalau hanya dihbungkan dengan hukuman. Lebih sesuai kiranya
jika kedua istilah itu dipergunakan untuk menyifatkan alat-alat pendidikan pada
umumnya.
Hukuman Alam juga
kurang tepat karena ditinjai secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik.
Walau dalam beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau
itu ada benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat
mengetahui norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
boleh dan yang tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan
merubahnya. Kalau alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi
akibatnya. Karena di sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada
hal yang lebih baik. Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru
pendidik membiarkan dengan harapan bisa berubah dengan sendirinya.
5. Syarat
Penggunaan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman merupakan salah
satu alat yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan
yang salah kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh
sewenang-wenwng tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang
ada.
Terkadang menunda
hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini
akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan
mendapatkan dua hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan
terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain
ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik
(pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan
menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:
a.
Pendidik tidak terburu-buru.
b.
Pendidik tidak memukul ketika dalam
keadaan sangat marah.
c.
Menghindari anggota badan yang peka
seperti kepala, muka, dada dan perut.
d.
Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
e.
Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10
tahun.
f.
Jika kesalahan anak adalah untuk pertama
kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji
untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
g.
Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
h.
Jika anak sudah menginjak usia dewasa
dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan
mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari
sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang
berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih
lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi:
و يحب ا يضا أ ن يضر
بهما على تر ك ذ لك ضر با غير مبر ح في أ تنا إ لعا
شر ة بعد كما ل ا لتسع لا
حتما ل البلو غ فيهز
“Wajib juga untuk
memukul keduanya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya
ketika berumur sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena
menuju kedewasaan yang dimiliki.”
Hal
tersebut menunjukkan bahwa dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan
hukuman sebagai sarana untuk meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu ang
tidak menyakitkan atas kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini
adalah pukulan yang bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan.
Namun
demikian, kebolehan menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman
sekehendak hatinya, khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu
yang disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan
untuk dikenai hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka
atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak
minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf
lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka
pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman
badan harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman
dan kebal terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dari beberapa pendapat
yang lain membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu:
a.
Lemah lembut dan kasih sayang.
b.
Dilakukan secara bertahap, dari yang
paling ringan hingga yang paling keras.
Armai
Arief membagi syara-syarat pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik
menjadi lima, yaitu:
a.
Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan
sayang.
b.
Didasarkan kepada alasan “keharusan”.
c.
Menimbulkan kesan di hati anak.
d.
Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan
kepada anak didik.
e.
Diikuti dengan pemberian maaf dan
harapan serta kepercayaan.
Sedangkan
secara singkat M. Ngalim Purwanto membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi
8, antara lain:
a.
Dapat dipertanggung jawabkan
b.
Bersifat memperbaiki
c.
Tidak boleh bersifat ancaman atau
pembalasan dendam
d.
Jangan menghukum pada waktu sedang marah
e.
Harus diberikan dengan sadar dan sudah
diperhitungkan atau dipertimbangkan
f.
Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan
yang sebenarnya
g.
Jangan melakukan hukuman badan
h.
Tidak boleh merusak hubungan baik antara
si pendidik dan anak didiknya
i.
Guru sanggup memberi maaf setelah anak
itu menginsafi kesalahannya.
Dari
beberapa pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa para tokoh pendidikan
saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam
sehingga yang penting dalam memberikan hukuman pada anak didik adalah dapat
menimbulkan perasaan menyesali atas kesalahan yang diperbuatnya dan tidak
mengulanginya.
6. Tahapan
Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam pemberian hukuman
ada tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan
hingga akhirnya menjadi yang terberat, yaitu:
a.
Memberikan nasehat dengan cara dan pada
waktu yang tepat Yaitu dengan tidak memojokkan dan mengungkit-ungkit
kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat membuat anak
menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan waktupun harus
dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima masukan.
b.
Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan
perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak.
c.
Hukuman fisik, sebagai tahap akhir
dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu
keras dan menyakitkan.
Rasulullah Saw
menjelaskan tahapan bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak,
mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi
tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu
menunjukkan kesalahan dengan:
a.
Pengarahan
b.
Ramah tamah
c.
Memberikan isyarat
d.
Kecaman
e.
Memutuskan hubungan (memboikotnya)
f.
Memukul
g.
Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman
dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan
meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang
lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah
hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika
dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu
pula ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan
temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa
anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman
yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran
darinya.
Jika
pendidik tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk
memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada
yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum
berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang
paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau
teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.
7. Dampak Negatif
dan Dampak Positif Hukuman
Dampak
Negatif
Jika
kita bertanya dapatkan suatu hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang
pendidik terhadap beberapa orang anak , akan menghasilkan dampak yang sama
pula? Maka jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun
demikian, tiap-tiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk
memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu
dapat diharapkan.
M. Ngalim Purwanto
mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:
1)
Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena
hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung
jawab.
2)
Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang
diharapkan oleh pendidik.
3)
Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa
telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam
Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif
yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain:
1)
Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2)
Murid akan selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan
ia suka berdusta (karena takut dihukum).
3)
Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.
Dalam
buku yang lain Syaikh Jamil Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman
fisik ada tujuh, yaitu:
1)
Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan.
2)
Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan
membekas pada keduanya secara bersamaan.
3)
Adanya bekas yang merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada
wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya.
4)
Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum
5)
Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan
hakim, keluarga dan penyidik
6)
Terbuangnya waktu murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa
yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung
7)
Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru.
Hukuman fisik ini bisa
digunakan dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid
yang melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya
jera kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan
tata tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada
selurut murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagiamana diungkapkan
dalam sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.
Muhammad
bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang
menggunakan kekerasan, yaitu:
1)
Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2)
Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan
diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun
3)
Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sepantasnyalah
Rasulullah Saw dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada
anak, sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.
Dampak Positif
Armai Arief mengatakan
dampak positif dari hukuman antara lain: [32]
1)
Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2)
Murid tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
3)
Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto
membagi dampak positif hukuman menjadi dua, yaitu:
1)
Memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
KESIMPULAN
Hukuman
dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak
baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda
atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah
diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dasar Penerapan hukuman
dalam pendidikan Islam bisa dilihat pada QS. An-Nisa ayat 34 dan
HR. Abu Dawud.
Tujuan
Hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku
anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaiakan sehingga tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya, Ada banyak macam
hukuman dari beberapa pendapat, yaitu hukuman preventif dan represif, hukuman
asosiatif, logis dan normative, hukuman alam dan disengaja.
Syarat
Penggunaan Hukuman dalam pendidikan Islam dipaparkan oleh beberapa ahli
pendidikan dengan versi yang berbeda-beda. Yang harus diperhatian ketika
memberikan hukuman tidak boleh menyakitkan dan diberikan ketika pendidik dalam
keadaan marah. Hukuman juga harus dapat membuat anak didik menyadari
kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya.
Tahapan
pemberian hukuman dalam pendidikan Islam adalah pertama anak dinasehati dengan
singkat, jelas dan disertai dengan sikap lemah lembut dan tidak dilakukan
dihadapan orang banyak. Apabila belum berhasil, maka langkah selanjutnya
dilakukan dengan ancaman yang menjerakan, misalkan dengan membuka cela atau
rahasianya di depan orang lain. Untuk langkah terakhir apabila belum berhasil
juga, maka dengan hukuman fisik, yakni yang tidak membahayakan dan tidak
menyakitkan. Dampak negatif dari hukuman yang harus dihindari oleh
pendidik adalah timbulnya dendam si terhukum atau anak didik akibat dari
pemberian hukuman yang tidak efektif. Dan dampak positif dari pemberian hukuman
adalah dapat membuat jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat
kesalahan-kesalahan yang lainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar