Sabtu, Januari 23, 2016

MEMBERI HUKUMAN KEPADA SISWA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM


MEMBERI HUKUMAN KEPADA SISWA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Oleh :
MUHARIL.S.Pd




Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mdzakkir. Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[9]
Paul Chanche mengartikan hukuman adalah
“The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence”
(Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.  Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”
Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
2. Dasar Pemberian  Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah dan sunah Rasul-Nya.

Ayat al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
والتي تخا فو ن نشو ز هن فعضو هن و ا هجر و هن في ا لمضا جع و ا ضر بو هن جقا ت ا طعتكم فلا تبغو ا عليهن سبيلا قلي
“Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Maka diberikan alternative hukuman berikutnya, yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Di mana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri yang melanggar aturan tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya. Suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Demikian pula terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu tidak belum juga berhasil maka pendidik bisa menggunakan pukulan.
Adapun perintah mendidik anak, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
عن عمر و بن سعيب عن ا بيه عن جد ه قا ل: قا ل ر سو ل لله صلي ا لله عليه و سلم مرو ا لا د كم با لصلاة و هم ا بنا ء سبع سنين, وا ضربو هم عليها و هم ا بنا ء عشر, و فر قو ا بينهم فى المضا جع
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)[14]
Dari Firman Allah Saw dan hadist Nabi Muhammad Saw, kita dapat menjadikannya sebagai dasar hukum pemberian hukuman dalam pendidikan Islam.

3. Tujuan Hukuman dalam Pendidikan Islam


Apa sebenarnya tujuan orangtua dan pendidik ketika memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah persoalan yang ringan, karena dari beerapa kasus di awal pembahasan tadi, ternyata masih banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja. Dalam kondisi ini, Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman adalah menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi melakukan kesalahan.
M. Mgalim Purwanto mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman, yaitu:
a. Teori Pembalasan
Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang.
b. Teori Perbaikan
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.
c. Teori Pelindungan
Menurut teori ini, hukuman diadakan ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.
d. Teori Ganti Kerugian
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu.
e. Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain.
Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Arifin ada dua, yaitu:
Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya. Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya.
4. Macam-macam Hukuman dalam Pendidikan Islam
Ada beberapa pendapat dalam mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah:
Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto, ada beberapa pendapat yang membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu:
1)      Hukuman Preventiv, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan.
2)      Hukuman Represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah terjadi pelanggaran.
Sementara itu W. Stern membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu.[17]
1)      Hukuman Asosiatif, yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada kaitannya dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain hukuman itu diasosiasikan dengan pelanggarannya.
2)      Hukuman Logis, yaitu anak dihukum hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini diberikan pada anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.
3)      Hukuman Normatif, bermasud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak.
Ada pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)      Hukuman Alam, yang dikemukakan oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme berpendapat kalau ada anak yang melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah alam yang menghukumnya. Dengan kata lain, biarlah anak kapok atau jera dengan sendirinya.
2)      Hukuman Yang Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)      Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan, perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah.
2)      Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir, mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan.
Dari beberapa macam hukuman di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya hukuman preventiv dan represif, karena sebenarnya dalam ilmu pendidikan, kedua istilah itu tidak tepat kalau hanya dihbungkan dengan hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua istilah itu dipergunakan untuk menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya.
Hukuman Alam juga kurang tepat karena ditinjai secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik. Walau dalam beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau itu ada benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan yang tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan merubahnya. Kalau alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi akibatnya. Karena di sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada hal yang lebih baik. Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru pendidik membiarkan dengan harapan bisa berubah dengan sendirinya.
5. Syarat Penggunaan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang menunda hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan dua  hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:
a.       Pendidik tidak terburu-buru.
b.      Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
c.       Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
d.      Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
e.       Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
f.       Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
g.      Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
h.      Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi:
و يحب ا يضا  أ ن يضر بهما على تر ك ذ لك ضر با غير مبر ح في أ تنا إ لعا
شر ة بعد كما ل ا لتسع لا حتما ل البلو غ فيهز
“Wajib juga untuk memukul keduanya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya ketika berumur sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju kedewasaan yang dimiliki.”
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan hukuman sebagai sarana untuk meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu ang tidak menyakitkan atas kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah pukulan yang bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan.
Namun demikian, kebolehan menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya, khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman badan harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dari beberapa pendapat yang lain membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu:
a.       Lemah lembut dan kasih sayang.
b.      Dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.

Armai Arief membagi syara-syarat pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik menjadi lima, yaitu:
a.       Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang.
b.      Didasarkan kepada alasan “keharusan”.
c.       Menimbulkan kesan di hati anak.
d.      Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada anak didik.
e.       Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.
Sedangkan secara singkat M. Ngalim Purwanto membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi 8, antara lain:
a.       Dapat dipertanggung jawabkan
b.      Bersifat memperbaiki
c.       Tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam
d.      Jangan menghukum pada waktu sedang marah
e.       Harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan
f.       Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan yang sebenarnya
g.      Jangan melakukan hukuman badan
h.      Tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya
i.        Guru sanggup memberi maaf setelah anak itu menginsafi kesalahannya.
Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa para tokoh pendidikan saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam sehingga yang penting dalam memberikan hukuman pada anak didik adalah dapat menimbulkan perasaan menyesali atas kesalahan yang diperbuatnya dan tidak mengulanginya.
6. Tahapan Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam pemberian hukuman ada tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga akhirnya menjadi yang terberat, yaitu:
a.       Memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat Yaitu dengan tidak memojokkan dan mengungkit-ungkit kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan waktupun harus dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima masukan.
b.      Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak.
c.       Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan.
Rasulullah Saw menjelaskan tahapan bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan dengan:
a.       Pengarahan
b.      Ramah tamah
c.       Memberikan isyarat
d.      Kecaman
e.       Memutuskan hubungan (memboikotnya)
f.       Memukul
g.      Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu pula ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya.
Jika pendidik tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.
7. Dampak Negatif dan Dampak Positif Hukuman
Dampak Negatif
Jika kita bertanya dapatkan suatu hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap beberapa orang anak , akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:
1)      Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung jawab.
2)      Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan oleh pendidik.
3)      Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain:
1)     Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2)     Murid akan selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum).
3)     Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.
Dalam buku yang lain Syaikh Jamil Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu:
1)      Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan.
2)      Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan membekas pada keduanya secara bersamaan.
3)      Adanya bekas yang merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya.
4)      Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum
5)      Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan hakim, keluarga dan penyidik
6)      Terbuangnya waktu murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung
7)      Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru.
Hukuman fisik ini bisa digunakan dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid yang melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan tata tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada selurut murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu:
1)      Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2)      Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun
3)      Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sepantasnyalah Rasulullah Saw dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak,  sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.
Dampak Positif
Armai Arief mengatakan dampak positif dari hukuman antara lain: [32]
1)     Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2)     Murid tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
3)     Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto membagi dampak positif hukuman menjadi dua, yaitu:
1)      Memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
KESIMPULAN
Hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Dasar Penerapan hukuman dalam pendidikan Islam bisa dilihat pada QS. An-Nisa ayat 34 dan HR. Abu Dawud.
Tujuan Hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaiakan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggung jawab atas kesalahannya, Ada banyak macam hukuman dari beberapa pendapat, yaitu hukuman preventif dan represif, hukuman asosiatif, logis dan normative, hukuman alam dan disengaja.
Syarat Penggunaan Hukuman dalam pendidikan Islam dipaparkan oleh beberapa ahli pendidikan dengan versi yang berbeda-beda. Yang harus diperhatian ketika memberikan hukuman tidak boleh menyakitkan dan diberikan ketika pendidik dalam keadaan marah. Hukuman juga harus dapat membuat anak didik menyadari kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya.
Tahapan pemberian hukuman dalam pendidikan Islam adalah pertama anak dinasehati dengan singkat, jelas dan disertai dengan sikap lemah lembut dan tidak dilakukan dihadapan orang banyak. Apabila belum berhasil, maka langkah selanjutnya dilakukan dengan ancaman yang menjerakan, misalkan dengan membuka cela atau rahasianya di depan orang lain. Untuk langkah terakhir apabila belum berhasil juga, maka dengan hukuman fisik, yakni yang tidak membahayakan dan tidak menyakitkan. Dampak negatif dari hukuman  yang harus dihindari oleh pendidik adalah timbulnya dendam si terhukum atau anak didik akibat dari pemberian hukuman yang tidak efektif. Dan dampak positif dari pemberian hukuman adalah dapat membuat jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat kesalahan-kesalahan yang lainya.


Jumat, Januari 22, 2016

GURU DAN KORUPSI DI SEKOLAH

GURU DAN KORUPSI DI SEKOLAH
Oleh :
MUHARIL.S.Pd

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di lingkungan pendidikan pun korupsi telah mewabah. Kalau di sekolah melibatkan kepala sekolah sampai penjaga sekolah sementara di dinas melibatkan kepala dinas sampai tukang sapu. Di sekolah, korupsi terjadi mulai proses penerimaan siswa baru sampai dengan kelulusan siswa. Dalam penerimaan siswa baru, isu jual beli bangku bukan lagi menjadi sekedar isu. Hal ini terjadi umumnya pada sekolah-sekolah negeri favorit. Setelah siswa mengikuti proses belajar mengajar semakin banyak pungutan yang dibebankan. adapun korupsi yang Lazim dilakukan oleh guru adalah sebagai berikut :

1.  Korupsi Waktu

korupsi waktu adalah tidak bekerja di jam kerjanya tanpa izin yang jelas atau menggunakan jam kerja untuk keperluan lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dilarang oleh syariat dan hendaknya ia menunaikan kewajibannya

Termasuk yang diperhatikan dalam pembahasan korupsi adalah korupsi waktu. Di mana seseorang lalai dengan amanah mengenai waktu yang telah dijanjikan atau disepakati misalnya dalam hal pekerjaan atau sesuatu yang berkaitan dengan waktu. Contoh korupsi waktu misalnya seorang pegawai atau PNS yang tidak amanah dalam waktu, masuk kerja terlambat dan tanpa izin atau bahkan makan gaji buta tanpa kerja sama sekali.
Hendaknya seseorang menunaikan amanatnya
Bagi seorang pegawai yang telah berjanji akan melaksanakan amanahnya, yaitu bekerja dengan waktu-waktu tertentu dan ia memang digaji untuk hal itu, hendaknya berusaha menunaikan amanahnya sebaik mungkin, begitu juga dengan jam kerjanya, hendaknya ia gunakan jam kerja yang telah disepakati untuk benar-benar bekerja sesuai dengan amanahnya. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar menunaikan amanah dengan profesional dan sebaik mungkin.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak” (An Nisaa’: 58).
Seorang muslim juga berusaha menunaikan dan melaksanakan persyaratan yang telah ia setujui.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka” (HR. Muslim).
Termasuk ciri munafik (shugra/kecil) adalah tidak menepati janji atau persyaratan yang telah ia setujui.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Tiga tanda munafik ada tiga, jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari dan ketika diberi amanat, maka ia berkhianat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang pegawai harus bekerja sesuai dengan jam kerjanya
Termasuk korupsi waktu adalah tidak bekerja di jam kerjanya tanpa izin yang jelas atau menggunakan jam kerja untuk keperluan lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dilarang oleh syariat dan hendaknya ia menunaikan kewajibannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan mendurhakai ibu, membunuh anak perempuan, dan mana’a wahaat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Arti dari (منع وهات) “mana’a wahaat” adalah tidak mau melaksanakan kewajiban atau menuntut apa yang bukan menjadi haknya.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan hadits,
أنه نهى أن يمنع الرجل ما توجه عليه من الحقوق أو يطلب ما لا يستحقه
Rasulullah melarang seseorang tidak melaksakan kewajiban yang ada padanya atau menuntut apa yang bukan menjadi haknya.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim)
Jadi, seorang muslim tidak boleh hanya menuntut haknya saja, menuntut dibayarkan gaji bulanan secara rutin, sedangkan ia tidak menunaikan amanahnya dengan baik. Tidak masuk kantor tepat waktu, itupun masuk kantor pada jam-jam tertentu saja dan sering bolos, keluar tanpa izin, menggunakan waktu jam kantor untuk bermain game atau urusan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya.
Bagaimana dengan beribadah ketika jam kerja
Beribadah di waktu jam kerja misalnya shalat dhuha atau mengaji perlu dirinci, jika ibadah yang wajib seperti shalat dzuhur, maka saat itu pekerjaan wajib ditinggalkan dan seharusnya atasan memberikan waktu untuk menunaikan shalat wajib. Akan tetapi untuk ibadah yang sunnah misalnya shalat dhuha, maka sebaiknya jangan meninggalkan jam kerja untuk shalat dhuha kecuali atasan telah memberi izin atau atasan telah memaklumi atau bisa juga dilakukan di sela-sela waktu istirahat.
Berikut Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi) terkait hal ini.
Pertanyaan:
هل يجوز أداء صلاة الضحى خلال وقت الدوام الرسمي ، خاصة إذا تزايد عدد المصلين إلى حد قد يؤدي إلى التأخير في إنجاز العمل الرسمي؟ آملين أن تكون الإجابة مكتوبة. جزاكم الله خيرًا .
“Apakah diperbolehkan (bagi karyawan) untuk mengerjakan shalat dhuha selama jam kerja resmi, terutama ketika bertambahnya orang yang shalat sehingga dapat menyebabkan pekerjaan mereka tidak selesai pada waktunya? Kami harap anda bias memberikan jawaban tertulis.”
Jawaban:
ج: الأصل أن النوافل في البيوت؟ لقوله صلى الله عليه وسلم: أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة ، وقوله صلى الله عليه وسلم: اجعلوا من صلاتكم في بيوتكم ولا تتخذوها قبورًا متفق عليه، وعلى هذا فلا ينبغي للموظف أن يعطل العمل الذي هو واجب عليه لأجل نافلة؛ لأن صلاة الضحى سنة فلا يترك واجب لأجل سنة، ويمكن للموظف أن يصلي الضحى في بيته قبل أن يأتي للعمل بعد ارتفاع الشمس قدر رمح، أي بعد خروج وقت النهي، ويقدر ذلك بعد شروق الشمس بربع ساعة تقريبًا.
Pada dasarnya, ibadah sunnah itu dikerjakan di rumah, karena beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة
Seutama-utamanya shalat seseorang yaitu di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu” (HR. Bukhari & Muslim)
اجعلوا من صلاتكم في بيوتكم ولا تتخذوها قبورًا
Jadikanlah sebagian shalat kalian di dalam rumah, dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian sepeti kuburan” (HR. Bukhari & Muslim).
Seeorang karyawan seharusnya tidak menghentikan pekerjaannya yang menjadi kewajibannya dengan melakukan ibadah sunnah. Seorang karyawan bisa melakukan shalat dhuuha di rumah sebelum mereka berangkat bekerja sesaat setelah terbitnya matahari, yaitu setelah waktu nahiy (Waktu dilarang untuk melakukan shalat yaitu setelah shalat subuh hingga terbitnya fajar) sekitar 15 menit setelah matahari terbit.
Termasuk memakan harta dengan cara yang batil jika terus-menerus korupsi waktu
Jika korupsi waktu terus-menerus dilakukan oleh seorang pekerja, sementara ia terus menerima gaji utuh, bisa jadi ia menerima gaji buta. Demikian ini termasuk memakan harta dengan cara yang batil. Hartanya bisa jadi tidak berkah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin rahimahullah menjelaskan,
و نظرنا لمجتمعنا اليوم لم نجد أحداً يسلم من خصلة يفسق بها، إلا مَنْ شاء الله، فالغِيبة فسق وموجودة بكثرة، والتغيب عن العمل، والإصرار على ذلك، وكونه لا يأتي إلا بعد بداية الدوام بساعة، ويخرج قبيل نهاية الدوام بساعة مثلاً، فالإصرار على ذلك فسق؛ لأنه ضد الأمانة، وخيانةٌ، وأكلٌ للمال بالباطل؛ لأن كل راتب تأخذه في غير عمل، فهو من أكل المال بالباطل
“Jika kita melihat masyarakat kita sekarang, maka kita akan mendapati tidak ada (sedikit) yang selamat dari sifat kefasiqan kecuali yang Allah kehendaki (selamat dari itu). Misalnya seperti perbuatan ghibah yang termasuk perbuatan fasiq (dan banyak terjadi), bolos kerja yang terus dilakukan, serta perbuatan pegawai yang terlambat masuk kerja (yang telah dimulai satu jam sebelumnya) dan pulang kerja satu jam lebih cepat dari yang seharusnya.Terus menerus melakukan hal itu adalah termasuk kefasiqan karena ini termasuk berkhianat dan tidak sesuai amanah serta memakan harta dengan cara yang batil. Karena setiap gaji yang anda terima tanpa diimbangi dengan pekerjaan maka ini termasuk memakan harta dengan cara yang

Survei ICW (Ade Irawan dkk : 2004) menyebutkan paling tidak ada 46 jenis pungutan di sekolah yang dibebankan kepada siswa maupun guru.Ironisnya, korupsi di sekolah juga terjadi dalam bentuk jual beli nilai. Kasus ini biasanya terjadi ketika siswa akan mengikuti seleksi PMP di perguruan tinggi. Siswa yang berminat pada jurusan tertentu, dengan membayar sejumlah uang, dapat memanipulasi nilai di rapor-nya sehingga layak untuk lulus PMP. Tentunya denganbantuan pihak yang berwenang di sekolah. Di dinas, korupsi yang terjadi biasanya adalah urusan surat-menyurat. Misalnya dalam pengurusan pangkat yang harganya kini mencapai 200 – 500 ribu atau pengangkatan untuk jabatan kepala sekolah, tersiar kabar harganya dapat mencapai 50 – 100 juta tergantung seberapa basah sekolah yang akan dipimpin. Demikian juga bantuan-bantuan yang diberikan ke sekolah, walaupun mekanismenya sudah dipersingkat, dari pusat langsung disalurkan ke rekening sekolah, tetap saja tak lepas dari praktek korupsi. Biasanya, pegawai yang ada di dinas, baik itu kabupaten/ kota maupun provinsi, akan meminta persenan dari bantuan yang akan diajukan. Dengan ancaman, jika persenan tidak diberikan maka sekolah akan di-blacklist dan tidak memperoleh bantuan-bantuan berikutnya atau urusan ke dinas akan dipersulit.

Ade Irawan, dkk (2004) Mendagangkan Sekolah. Jakarta : Indonesia Corruption Watch Dalam penelitian ICW (Ade Irawan, dkk : 2004) pada beberapa sekolah di Cimahi dan Jakarta terekam beberapa temuan seperti :
1. Peran Kepala Sekolah yang sangat besar, memonopoli semua kebijakan di sekolah mulai dari proses administrasi, manajemen kepegawaian hingga masalah keuangan.
2. Peran guru hanya sebagai pengajar
3. Peran orang tua siswa/ masyarakat sebagai sumber pendanaan yang dipungut tiap tahun ajaran baru
4. Pembentukan komite sekolah ditunjuk langsung oleh kepala sekolah. Kalaupun ada yang melibatkan guru, tetapi hasil pilihan guru akan dianulir jika tidak sesuai dengan keinginan Kepala Sekolah
5. Perencanaan APBS dimonopoli Kepala Sekolah dibantu oleh orang-orang kepercayaannya
6. Pengelolaan APBS hanya diketahui oleh Kepala Sekolah dan tidak ada transparansi
7. Tidak ada pertanggungjawaban APBS baik kepada orang tua siswa maupun guru
8. Korupsi yang dilakukan di sekolah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

2. KORUPSI APBS
- Anggaran ganda
- Anggaran tidak direalisasikan
- Anggaran digunakan untuk kegiatan yang tidak jelas


3. KORUPSI DI LUAR APBS : DBO, BOS, BOM, DAK, BBE DLL


Kini, ketika anggaran pendidikan akan mencapai angka 20 % dari total APBN, patut dikhawatirkan bahwa korupsi akan menjadi-jadi di dunia pendidikan. Apakah anggaran sebesar itu akan efektif bagi pembangunan pendidikan atau hanya akan memperkaya para birokrat pendidikan ?



Butuh Keteladanan
Jhon Dewey (2004) menyebutkan bahwa prinsip pendidikan yang sehat adalah dalam usaha mencapai tujuan-tujuan yang terbaik untuk pelajar maupun masyarakat harus didasarkan pada pengalaman, yang senantiasa merupakan
Ade Irawan, dkk (2004) Mendagangkan Sekolah. Jakarta : Indonesia Corruption Watch
pengalaman kehidupan aktual individu tertentu9
. Sebuah ungkapan bijak juga menyebutkan, experience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Artinya, model pendidikan terbaik, yang memungkinkan siswa dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, adalah ketika siswa mengalami sendiri nilai-nilai yang diajarkan. Baik ketika siswa menjadi subjek maupun objek yang diperoleh darim pengalaman dengan melakukan, melihat atau pun mendengar. Dalam proses pembelajaran yang konvensional (tatap muka di depan kelas), urutan pembelajaran biasanya dimulai dari melihat atau mendengar, kemudian memikirkan (analisis) sampai terciptanya produk pembelajaran. Produk pembelajaran biasanya dalam bentuk pemahaman (kognitif), sikap (afektif) dan tingkah laku (psikomotorik).
Kalaulah Pendidikan Anti Korupsi jadi dilaksanakan di sekolah, ketika guru mengajarkan siswanya untuk tidak mengambil uang yang bukan haknya, namun pada saat yang bersamaan ia malah menjadi korban pungutan di sekolah, kira-kira pemahaman apa yang timbul dalam pikiran siswa? Atau ketika guru melarang siswa melakukan tindakan manipulasi data karena bisa tergolong korupsi, namun saat yang sama siswa malah diajarkan cara untuk mencurangi Ujian Nasional, kira-kira sikap apa yang akan diambil oleh siswa? Atau ketika guru bercerita tentang suap sebagai tindakan yang tidak terpuji, namun pada saat yang bersamaan ia menyaksikan praktek jual beli nilai berlangsung di sekolahnya, kira-kira apa yang akan dilakukan siswa? Ketika siswa masih berada di lingkungan sekolah, ia tidak mengambil sikap apa-apa terhadap apa yang dialaminya. Tetapi, apa yang dilihatnya, apa yang disaksikannya terus tertanam di benaknya. Dikhawatirkan ketika ia menamatkan sekolahnya dan mulai beraktifitas di tengah masyarakat akan timbul pemahaman, sikap dan perilaku yang cenderung korup. Dengan kondisi ini, sepertinya KPK perlu mengkaji ulang secara mendalam, apakah program Pendidikan Anti Korupsi di sekolah akan memberikan hasil yang efektif bagi upaya pencegahan tindak pidana korupsi ? Kalaupun tetap dianggap efektif, maka KPK harus menciptakan formula yang tepat untuk pelaksanaan Pendidikan Anti Korupsi. Serta berperan aktif melakukan pembersihan pada institusi

Jhon Dewey (2004) Experince and Education; Pendidikan Berbasis Pengalaman. Jakarta : Penerbit Teraju pendidikan, sehingga ketika Pendidikan Anti Korupsi masuk ke sekolah telah muncul keteladanan kepala sekolah, keteladanan guru-guru, keteladanan pegawai di sekolah yang juga anti korupsi. Keteladanan inilah yang kemudian menjadi pengalaman bagi siswa sebagai guru yang terbaik dalam menginternalisasikan pengetahuan, sikap dan perbuatan yang anti korupsi. Bukan hanya sekedar teori-teori di atas kertas atau ceramah di depan kelas.



KESIMPULAN


Mengutip pendapat HAR Tilaar pada kata pengantar buku MendagangkanSekolah bahwa dunia pendidikan Indonesia telah dijangkiti penyakit kronis lebih dari setengah abad keberadaan Republik Indonesia. Penyakit kronis tersebut adalah tidak adanya kebijakan yang konsisten, selalu ingin mengganti baju tanpa mau membersihkan diri terlebih dahulu. Kebijakan-kebijakan baru silih berganti seperti angin surga datang dan pergi tanpa bekas. Easy come, easy go, ada uang proyek disayang, tidak ada uang proyek ditendang. Lebih lanjut HAR Tilaar menyebutkan penyakit kronis tersebut lebih diintensifkan dengan penyakit baru yaitu proyektivikasi berbagai kegiatan. Kegiatanyang diproyekkan, dikawinkan dengan birokrat yang kaku, nakal serta dikendalikandari atas maka terbukalah peluang untuk korupsi. Proyek pun tidak berkesinambungan dan akan mati seiring dengan pergantian pejabat. Ganti Menteri,ganti kebijakan. Anak didik dan generasi yang akan datang menjadi korbannya.Menjadi pertanyaan penting, ketika KPK menggandeng Depdiknas dalampelaksanaan Pendidikan Anti Korupsi, apakah tidak ada kekhawatiran KPK akantertular virus penyakit dari Depdiknas ?

Illiza Sa`aduddin Djamal, SE Calon Terkuat Ketua PP PERPANI

Illiza Sa`aduddin Djamal, SE Calon Terkuat Ketua PP PERPANI Jakarta, Muharilsport. - Illiza Sa`aduddin Djamal, SE mantan walikota B...