Jumat, Mei 17, 2013

MENJADI GURU ATAU TIDAK SAMA SEKALI



MENJADI GURU ATAU TIDAK SAMA SEKALI
Menjadi guru adalah pilihan yang berani. Berani jadi  guru, harus berani pula menjalani segala konsekuensinya. Apabila mampu menjalaninya secara konsisten, jalan ke syurga akan menunggu, jika tidak, bahaya menghadang!
Kalimat ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengangkat kembali pamor guru yang beberapa waktu lalu mulai memudar. Hari ini kembali bersinar walau dengan berbagai alasan (salah satunya karena sertifikasi). Untuk mengangkat kembali kehormatan guru, langkah pertama adalah "melarang sembarangan orang menjadi guru". Oleh karena modal utama jadi guru adalah "nurani", bukan "akademiknya", maka siapapun itu, apapun latar belakang pendidikannya, jika tidak memiliki nurani sebagai pendidik, mohon maaf, tidak ada toleransi. Pertanyaannya, "apakah latar belakang pendidikan mempengaruhi hal ini?" Jawabannya bisa "Ya", bisa "Tidak". Artinya, latar belakang pendidikan tidaklah terlalu penting, apalagi dalam sebuah sistem pendidikan yang "tidak terarah seperti yang kita alami saat ini. Apakah hanya orang-orang yang berlatar belakang pendidikan dari Ilmu Kependidikan saja yang boleh jadi guru? Idealnya memang begitu, tapi tunggu dulu! Pada dasarnya setiap manusia ditakdirkan menjadi guru bagi generasi penerusnya. Namun banyak di antara kita yang tidak menyadari hal ini, bahkan yang sudah memilih profesi jadi guru pun banyak yang tidak menyadari hal ini, sehingga dia menyia-nyiakan kesempatan berharga dalam hidupnya.
Jika sistem dan proses pendidikan dari awal berjalan sesuai dengan kaidahnya, yaitu membantu anak untuk menemukan potensi dirinya sedini mungkin, lalu mereka dibekali dengan sikap "belajar bagaimana cara belajar", sehingga belajar menjadi bagian dari hidupnya dan pada akhirnya tidak "menyesatkan" orang dari fitrahnya, maka mereka yang memilih "guru" sebagai profesi adalah orang-orang yang tepat. Bukan kecelakaan atau kebetulan jadi adi guru.
Namun, jika selama dalam perkuliahan di LPTK para mahasiswa hanya dijejali ilmu dengan mengkonsumsi berbagai teori saja, sementara dia memilih untuk masuk ke situ bukan karena "nurani", ini berbahaya. Kalau di­analogikan, apa yang terjadi ketika seseorang ahli merakit bom, namun yang bersangkutan tidak memiliki nurani? Dengan mudah ia akan melenyapkan orang lain yang ia tidak suka.
Lalu apa yang terjadi ketika ada "orang pintar" tapi tidak memiliki nurani sebagai pendidik, lalu ia jadi guru. la pasti akan menjadikan "kepintarannya" sebagai ukuran bagi anak-anak didiknya, dalam kondisi ini, di mata dia, anak-anak selalu pada posisi "bodoh". Ini berbahaya kare­na akan mempengaruhi sikapnya dalam mendidik anak.
Betapa ketatnya seleksi menjadi seorang dokter, pada hal apabila ada dokter yang salah mendiagnosis dan salah mengasih obat, resiko yang tertinggi adalah hilangnya nyawa satu orang, tetapi, ketika guru salah mendiagnosis dsan salah mendidik, 1.000 nyawa atau lebih 10 gen­erasi  terbunuh potensinya, dan untuk menebus semua tidak bisa dengan materi karena usia yang telah terpakai tidak dapat dikembalikan.
Di dunia ini hanya ada 2 profesi, yaitu guru dan bukan guru. Kita boleh kagum pada seorang dokter ahli yang mampu menyembuhkan penyakit yang kritis, juga sangat kagum kepada orang yang merancang sebuah jembatan panjang dengan tingkat kesulitan tinggi. Pertanyaannya, kehebata­n orang-orang tersebut apakah terlepas dari peranan seorang guru?
Banyak cerita tentang keberhasilan seorang anak akibat guru yang hebat, namun banyak cerita juga tentang kegagalan karena guru salah didik. Kegagalan Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Stephen Hawking dan seb­againya di sekolah, dia bayar melalui belajar sendiri, dia menjadikan alam dan ilmu sebagai gurunya.
Pentingkah seorang guru? Penting! Tapi guru yang mana? Yang jelas tidak ada tempat bagi guru yang "ke­celakaan", yaitu guru yang hanya manjadi guru sekedar mendapatkan pekerjaan, Namun, seorang guru profe­sional adalah guru dengan pangilan nurani, mungkin pada awalnya tidak sengaja jadi guru, namun jika yang bersangkutan dengan cepat menyadari akan pentingnya peran dia sebagai guru, lalu ia bangun paradigmanya, dan dengan nurani ia melangkahkan kaki ke hadapan anak­ anak didiknya. Inilah guru yang dicari, ditunggu, dipuja, dan disayang sepanjang masa.
Guru adalah profesi yang paling terhormat. Ketika para arsitek jembatan, ahli biologi tanah, dokter bergelimang kotoran dan penyakit karena lahan pekerjaanya di situ, maka betapa bahagianya seorang guru yang memiliki pekerjaan pada otak manusia. Otak adalah karunia tertinggi yang dimiliki manusia, dan otak juga di antara beberapa kekuatan maha dahsyat yang dimiliki manusia. Kita wajib bersyukur dengan menjadi guru .
Salah satu cara untuk mensyukuri kita sebagai guru adalah "konsisten" pada amanah sebagai pendidik. Tujuan  kita mendidik anak      adalah adalah agar anak anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berilmu pengetahuan, dan ber­:akhlak mulia. Ukuran keberhasilan mendidik adalah ter­jadinya perubahan perilaku anak dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, dan tidak terbiasa menjadi terbiasa, sesuai dengan apa yang kita inginkan bersama.
Tugas guru dianggap setelah terjadi perubah­an perilaku pada anak kearah yang lebih baik. Lalu, apakah dengan menyusun silabus, RPP, mengisi daftar hadir dan menuntaskan materi dapat menjadi ukuran bahwa guru yang bersangkutan telah menjalankan tugas? Jawaban­nya belum! Jika ukuran keterlaksanaan tugas sebagai guru hanya diukur dari aspek administrasi semata, berarati baru sebagian tugas yang selesai, yaitu tugas administratif, tu­gas sebagai edukator, belum! Ingat, jika terjadi kesalahan dalam administrasi, kita dapat menghapus dan mengganti dengan yang baru, namun jika terjadi kesalahan dalam mendidik, kita tidak mampu menghapusnya, itu artinya kita bermimpi mengembalikan umur ke kondisi semula.
Menjadi guru sangat mudah bagi mereka yang pro­fessional di bidangnya. Orang-orang professional adalah orang-orang yang menguasai ilmu sesuai bidang keahli­annya. Nah, bagi yang merasa sulit untuk mendidik anak dengan baik, berarti mereka belum menguasai ilmu men­didik sepenuhnya. Agar menjadi guru tidak menyiksa diri, dan dapat bekerja dengan rileks, untuk itu harus menjadi ahli.

Kita harus menjadi guru yang jenius dan amanah yang dapat diteladani oIeh setiap anggota masyarakat, teruta­ma siswa. Guru, adalah orang yang berilmu, cerdas,  berakhlak mulia. Untuk itu jangan sia-siakan kesempatan yang mulia ini. Selamat menjadi guru yang professional, keindahan hidup akan selalu mewarnai.
Masih kah anda bermimpi jadi guru?????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Program Mandatori optimalisasi Tugas Dan Fungsi APKS PGRI, LKBH PGRI serta pengelolaan Keanggotaan dan Keuangan melalui PGRI, SLCC PGRI dan DKGI Organisasi

Penguatan Program Mandatori optimalisasi Tugas Dan Fungsi APKS PGRI, LKBH PGRI serta pengelolaan Keanggotaan dan Keuangan melalui PGRI, SLCC...