MENJADI GURU ATAU TIDAK SAMA SEKALI
Menjadi guru adalah
pilihan yang berani. Berani jadi guru,
harus berani pula menjalani segala konsekuensinya. Apabila mampu menjalaninya
secara konsisten, jalan ke syurga akan menunggu, jika tidak, bahaya menghadang!
Kalimat ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk
mengangkat kembali pamor guru yang beberapa waktu lalu mulai memudar. Hari ini kembali bersinar
walau dengan berbagai alasan (salah satunya karena sertifikasi). Untuk
mengangkat kembali kehormatan guru, langkah pertama adalah "melarang
sembarangan orang menjadi guru". Oleh karena modal utama jadi guru adalah
"nurani", bukan "akademiknya", maka siapapun itu, apapun
latar belakang pendidikannya, jika tidak memiliki nurani sebagai pendidik,
mohon maaf, tidak ada toleransi. Pertanyaannya, "apakah latar belakang
pendidikan mempengaruhi hal ini?" Jawabannya bisa "Ya", bisa
"Tidak". Artinya, latar belakang pendidikan tidaklah terlalu penting,
apalagi dalam sebuah sistem pendidikan yang "tidak terarah seperti yang
kita alami saat ini. Apakah hanya orang-orang yang berlatar belakang pendidikan
dari Ilmu Kependidikan saja yang boleh jadi guru? Idealnya memang begitu, tapi
tunggu dulu! Pada dasarnya setiap manusia ditakdirkan menjadi guru bagi
generasi penerusnya. Namun banyak di antara kita yang tidak menyadari hal ini,
bahkan yang sudah memilih profesi jadi guru pun banyak yang tidak menyadari hal
ini, sehingga dia menyia-nyiakan kesempatan berharga dalam hidupnya.
Jika sistem dan
proses pendidikan dari awal berjalan sesuai dengan kaidahnya, yaitu membantu
anak untuk menemukan potensi dirinya sedini mungkin, lalu mereka dibekali
dengan sikap "belajar bagaimana cara belajar", sehingga belajar
menjadi bagian dari hidupnya dan pada akhirnya tidak "menyesatkan"
orang dari fitrahnya, maka mereka yang memilih "guru" sebagai profesi
adalah orang-orang yang tepat. Bukan kecelakaan atau kebetulan jadi adi guru.
Namun, jika selama
dalam perkuliahan di LPTK para mahasiswa hanya dijejali ilmu dengan
mengkonsumsi berbagai teori saja, sementara dia memilih untuk masuk ke
situ bukan karena "nurani", ini berbahaya. Kalau dianalogikan, apa
yang terjadi ketika seseorang ahli merakit bom, namun yang bersangkutan tidak
memiliki nurani? Dengan mudah ia akan melenyapkan orang lain yang ia tidak
suka.
Lalu apa yang terjadi
ketika ada "orang pintar" tapi tidak memiliki nurani sebagai
pendidik, lalu ia jadi guru. la pasti akan menjadikan
"kepintarannya" sebagai ukuran bagi anak-anak didiknya, dalam kondisi
ini, di mata dia, anak-anak selalu pada posisi "bodoh". Ini berbahaya
karena akan mempengaruhi sikapnya dalam mendidik anak.
Betapa ketatnya seleksi menjadi seorang dokter,
pada hal apabila ada dokter yang salah mendiagnosis dan
salah mengasih obat, resiko yang tertinggi
adalah hilangnya nyawa satu orang, tetapi, ketika guru salah mendiagnosis dsan salah mendidik, 1.000 nyawa atau lebih 10 generasi terbunuh potensinya, dan untuk
menebus semua tidak bisa dengan materi karena usia yang telah terpakai tidak dapat dikembalikan.
Di dunia ini hanya ada 2 profesi, yaitu guru dan bukan guru. Kita boleh kagum pada seorang dokter ahli yang mampu menyembuhkan penyakit yang
kritis, juga
sangat kagum kepada orang yang merancang sebuah jembatan panjang dengan tingkat kesulitan tinggi. Pertanyaannya,
kehebatan orang-orang tersebut apakah terlepas dari peranan seorang
guru?
Banyak cerita tentang
keberhasilan seorang anak akibat guru yang hebat, namun banyak cerita juga
tentang kegagalan karena guru salah didik. Kegagalan Albert Einstein, Thomas
Alfa Edison, Stephen Hawking dan sebagainya di sekolah, dia bayar melalui
belajar sendiri, dia menjadikan alam dan ilmu sebagai gurunya.
Pentingkah seorang
guru? Penting! Tapi guru yang mana? Yang jelas tidak ada tempat bagi guru yang
"kecelakaan", yaitu guru yang hanya manjadi guru sekedar mendapatkan
pekerjaan, Namun, seorang guru profesional adalah guru dengan pangilan nurani,
mungkin pada awalnya tidak sengaja jadi guru, namun jika yang bersangkutan
dengan cepat menyadari akan pentingnya peran dia sebagai guru, lalu ia bangun
paradigmanya, dan dengan nurani ia melangkahkan kaki ke hadapan anak anak
didiknya. Inilah guru yang dicari, ditunggu, dipuja, dan disayang sepanjang
masa.
Guru adalah profesi yang paling terhormat.
Ketika para arsitek jembatan, ahli biologi tanah, dokter
bergelimang kotoran dan
penyakit karena lahan pekerjaanya di situ, maka betapa bahagianya seorang guru
yang memiliki
pekerjaan pada otak manusia. Otak adalah karunia tertinggi yang dimiliki
manusia, dan otak juga di antara beberapa kekuatan maha dahsyat yang dimiliki
manusia. Kita wajib bersyukur dengan
menjadi guru .
Salah satu cara untuk
mensyukuri kita sebagai guru adalah "konsisten" pada amanah sebagai
pendidik. Tujuan kita mendidik anak adalah adalah agar anak anak tumbuh menjadi manusia yang
cerdas, berilmu
pengetahuan, dan ber:akhlak mulia. Ukuran keberhasilan mendidik adalah terjadinya
perubahan perilaku anak dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa,
dan tidak terbiasa menjadi terbiasa, sesuai dengan apa yang kita inginkan
bersama.
Tugas guru dianggap
setelah terjadi perubahan perilaku pada anak kearah yang lebih baik. Lalu,
apakah dengan menyusun silabus, RPP, mengisi daftar hadir dan menuntaskan materi dapat
menjadi ukuran bahwa guru yang bersangkutan telah menjalankan tugas? Jawabannya
belum! Jika ukuran keterlaksanaan tugas sebagai guru hanya diukur dari aspek
administrasi semata, berarati baru sebagian tugas yang selesai, yaitu tugas
administratif, tugas sebagai edukator, belum! Ingat, jika terjadi kesalahan
dalam administrasi, kita dapat menghapus dan mengganti dengan yang baru, namun jika
terjadi kesalahan dalam mendidik, kita tidak mampu menghapusnya, itu artinya
kita bermimpi mengembalikan umur ke kondisi semula.
Menjadi guru sangat
mudah bagi mereka yang professional di bidangnya. Orang-orang professional
adalah orang-orang yang menguasai ilmu sesuai bidang keahliannya. Nah, bagi
yang merasa sulit untuk mendidik anak dengan baik, berarti mereka belum menguasai
ilmu mendidik sepenuhnya. Agar menjadi guru tidak menyiksa diri, dan dapat
bekerja dengan rileks, untuk itu harus menjadi ahli.
Kita harus menjadi
guru yang jenius dan amanah yang dapat diteladani oIeh setiap anggota
masyarakat, terutama siswa. Guru, adalah orang yang berilmu, cerdas, berakhlak mulia. Untuk
itu jangan sia-siakan kesempatan yang mulia ini. Selamat menjadi guru yang
professional, keindahan hidup akan selalu mewarnai.
Masih kah anda
bermimpi jadi guru?????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar