Rabu, April 14, 2010

PERAN PSIKOLOGI TERHADAP KEMUNGKINAN TERJADINYA CEDERA DALAM OLAHRAGA D

PERAN PSIKOLOGI TERHADAP KEMUNGKINAN TERJADINYA CEDERA DALAM OLAHRAGA

D

I

S

U

S

U

N

Oleh:

Nama : MUHARIL

Nim :0706104020022

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM

2010

A. LATAR BELAKANG


Teori kesatuan psiko-fisik atau teori psiko-fisik totalitas berkembang karena para ahli menyadari bahwa orang yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mempengaruhi tingkahlaku dan penampilan¬nya. Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang sakit, sesudah mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi kejiwaan individu yang bersangkutan; kurang dapat memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, kurang dapat berfikir dengan tenang, kurang dapat berfikir dengan cepat, dsb-nya.


Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal-balik an¬tara jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikis, telah menjadi bahan pembahasan para ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dsb. Perasaan atau emosi memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semua gejala emosional seperti: rasa takut, marah, cemas, stress, penuh harap, rasa senang dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperti: ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu.
Sehubungan itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikis akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet(pelaku lahraga). Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikis secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapatan prestasi atlet.



Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu; misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dll-nya. untuk, menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi.gerak yang baik, dan rasa keindahan; ini semua akan dapat, terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan emosional.
Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena emosi atlet di samping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan kehendak), juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologiknya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap peningkatan atau merosotnya prestasi atlet.


Ditinjau dari konsep jiwa dan raga sebagai kesatuan yang bersifat organis, maka gangguan emosional terhadap diri atlet akan berpengaruh terhadap keadaan kejiwaan atlet secara keseluruhan, ketidak-stabilan emosional atau "emotional instability" akan mengakibatkan terjadinya psychological instability", dan akan mempengaruhi peran fungsi-fungsi psikologisnya, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atlet.
B. Stres Dalam Olahraga (Gejala emosional)
Seperti halnya otot-otot kita mengalami ketegangan karena melakukan jaan fisik maka kitapun dapat mengalami ketegangan psikis, yang disebut "stress".Menurut Gauron (1984) stress seperti halnya ketegangan otot tidak dapat dielakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita tidak dapat menghindarkan ketegangan psikik atau stress, beberapa ketegangan diperlukan dan beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan melakukan tugas. Menurut Gauron kurangnya ketegangan atau "lack of tension" akan berakibat kita tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik. Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya ketegangan otot-otot, dimana ketegangan tersebut sangat diperlukan kemanfaatannya.
Setiap atlet yang bertanding dalam suatu per-isdwa olahraga merasakan adanya peningkatan ketegangan emosional untuk mengap.tisipasi situasi pertandingan yang dihadapi. Singer (1986) mengemukakan bahwa aktivitas penuh ketegangan tidak selalu jelek bagi seorang atlet. Ditinjau dari macam reaksi mental dan emosional, Singer menunjukkan dues gejala yang berhubungan dengan emosi, yaitu: tidak adanya kesiapan dan penuh kesiapan. Tidak adanya kesiapan atau "under readiness" ada hubungan dengan kurangnya motivasi, sedangkan "over readiness" atau penuh kesiapan berhubungan dengan kesiapan untuk menang atau penampilan buruk, ketakutan akan kalah, dsb-nya.
Stress atau ketegangan psikis bentuknya dapat beraneka macam. Menurut Gauron (1984) stress menunjukkan gejala tidak sama terhadap tantangan-tantangan Yang dihadapi, untuk dapat melakukan adaptasi. Menghadapi stress, badan manusia Mengadakan reaksi dengan cara-cara atau bentuk yang konsisten, ada pengerahan atau"arousal"system syarat otonom"tertentu.Jadi gejala stress menurut Gauron tersebut dapat lebih bervariasi dibanding "tension" atau ketegangan fisik yang dialami seseorang.

Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan, sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional, yang akhir¬nya berpengaruh terhadap proses-proses psikologik maupun proses fisiologik.
Spielberger (1986) ja am tulisannya mengenai "Stress and Anxiety in Sports" dalam kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh Morgan berjudul "Sport Psychology" (1986) menegaskan bahwa stress menunjukkan "psychobiological process" yang kornpieks, can proses ini pacia ainuinnyd Llefjdoil caidm situasi yang mengandung nai yang dapat merugikan-, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustrasi (stressor).
"Stressor" menurut Spielberger (1986) menunjukkan situasi-situasi atau stimuli yang secara obyektif ditanJai dengan adanya tekanan fisik ataupun psikologik atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia.
Reaksi yang berbeda-beda akan muncul dalam menghadapi "stressor", tergan¬tung pada situasi tertentu yang diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya. Dalam hubungannya dengan aktivitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi pertandingan, maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada din atlet yang bersangkutan.
Mengenai timt)ulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:
1. "Because stress is an inevitable part of life, it cannot be avoided.
2. Since stress is inevitable, individuals must reduce its effects and cope through a personal stress management program.
3. Chronic stress may have adverse effects upon the body particularly if it is not taught to relax".
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai an¬caman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet yang bersangkutan.
Mengenai ancaman dalowikaitannya dengan keadaan mental atlet, Spielberger (1986) mengemukakan'adanya dua karakteristik pokok, yang disimpulkannya sebagai berikut:
'Thus, the experience of threat is, essentially, a state of mind which has two mein characteristics:
1) It is future-oriented, generally involving the anticipation of a potentially harmful event that has not yet happened; and
2) It is mediated by mental activities-peerception, thought, memory, and judg¬ment which are involved in the appraisal process".
Penilaian adanya ancaman yang dihadapi clan adanya penilaian bahaya yanq dihadapi (masa depan) memberi andil penting terhadap timbulnya reaksi emosional serta tindakan yang akan diambil individu menghindari ancaman atau bahaya dihadapinya.


C. Upaya Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan diri
1. Strategi Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi emosi yang tenang, yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak ber¬gelora tidak berarti merendahnya gairah untuk ben-nain, melainkan dapat diatur atau dikendalikan pada titik atau daerah Z sesuai dengan hipotesis U-terbalik.
Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-teknik tertentu melalui berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif artinya kegiatan dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur pasif ber¬arti seseorang dapat mengendalikan munculnya emosi yang bergelora, atau dikenal sebagai latihan autogenik.
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan sepenul-inya relaks tidak akan memperli¬hatkan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada ta¬hun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relak¬sasi progresif (Progressive Relaxation Training).
Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya bahwa seseorang dapat diubah menjadi relaks pada otot-ototnya. Sekaligus juga, latihan ini me¬ngurangi reaksi emosi yang bergelora, baik pada sistem saraf pusat mau¬pun pada sistem saraf otonom. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat.
Kira-kira pada waktu yang bersamaan, seorang dokter di Jerman bernama Johannes Schultz, memperkenalkan suatu teknik pasif agar se¬seorang mampu menguasai munculnya emosi yang bergelora. Schultz menyebut latihan tersebut sebagai Latihan Autogenik (Autogenic Training). Teknik ini dapat melatih seseorang untuk melakukan sugesti diri, agar is dapat mengubah sendiri kondisi kefaalan pada tubuhnya untuk mengen¬dalikan munculnya emosi yang terlalu bergelora. Setelah diajarkan cara¬cara untuk melaksanakannya, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti diri (auto-sugestion technique). Jadi, dengan melakukan autogenic training, seorang atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya. Ia juga dapat mengatur dan mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan yang dikehendaki.
Beberapa contoh dari latihan ini adalah latihan untuk merasakan berat dan panas pada anggota gerak, dengan ungkapan, "Saya rasakan le¬ngan kanan saya berat", "saya rasakan lengan kanan saya panas dan re¬laks." Latihan pemapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru¬paru, dengan contoh ungkapan, "Pemapasan saya lebih tenang dan de¬nyut jantung saya berdetak lebih lambat". Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada perut clan dahi. "Da-hi dan perut saya lebih dingin." Jadi, latihan autogenik merupakan suatu latihan yang menitikberatkan munculnya kemampuan pengendalian gejolak emosi pada tubuh.
Kemudian, sekitar tahun 1950-an, seorang tokoh beraliran behavior¬istik, Joseph Wolpe, melakukan modifikasi dari teknik relaksasi milik Jacobsen. Wolpe menganggap bahwa teknik milik Jacobsen tersebut me¬makan waktu terlalu lama. Ia lalu merancang teknik yang lebih pendek, lebih sederhana, dan lebih mudah dilakukan. Teknik ini dikenal dengan narna latihan relaksasi progresif yang merupakan dasar untuk melakukan pengebalan sistematik (systematic desensitization). Teknik ini digunakan untuk menangani seseorang yang memiliki masalah ketegangan dan ke¬cemasan. Mereka yang membutuhkan dapat diajarkan untuk melakukan teknik tersebut sendiri, dengan mempergunakan alat biofeedback (EMG).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, ke¬mudian bermunculan model-model relaksasi barn sebagaimana yang di¬kemukakan oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984).
Dalam perkembangan selanjutnya, latihan relaksasi progresif digu¬nakan sebagai teknik tersendiri, tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan behavioristik. Awalnya, latihan relaksasi progresif ini digunakan oleh pa¬sien penderita kecemasan atau ketegangan yang bersumber pada gejolak emosinya.Latihan relaksasi progresif juga dapat dilakukan melalui suatu alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback atau EMG (elektromyografi). EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam intensitas ketegangan otot¬otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam bentuk ukuran angka¬angka, misalnya +3 atau +10. Dengan menggunakan alat tersebut, sese¬orang dapat memantau tingkatan ketegangan sebelum maupun sesudah dilakukan latihan.
Dengan adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan ketegangan pada diri sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai pada keadaan relaks yang dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat mengatur ketegangan-ketegangan ototnya menjadi lebih relaks, sehingga gejolak emosinya pun menjadi lebih tenang. Apabila penggunaan biofeedback telah dilakukan berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun, tanpa membutuhkan alat biofeed¬back lagi.
Oleh karma itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis. Apabila seseorang telah beberapa kali ber¬hasil dalam keadaan relaks, maka pengelompokan otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Lengan dan tangan bersama-sama.
2. Semua otot muka.
3. Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
4. Pinggul dan pangkal paha.
5. Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau breathing technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karma da¬pat dilakukan di sembarang tempat, misalnya di pinggir arena pertan¬dingan, saat menunggu waktu untuk bermain, demikian pula pada saat gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada malam sebelum pertan¬dingan, atau beberapa jam sebelum pertandingan.
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1. Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan otot. Artinya, ada pemahaman bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan otot dan sebaliknya.
2. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan ketegangan otot.
3. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan kegiatan kognitif, yaitu meliputi kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu objek
4. Meningkatnya kemampuan untuk melakukan kegiatan.
5. Menurunnya ketegangan otot.
6. Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh perubahan kefaalan.
7. Menurunnya tingkat kecemasan, serta emosi-emosi negatif lainnya.
8. Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan.
Selain latihan relaksasi progresif, dalam melakukan perubahan atau rnodifikasi suatu perilaku, dikenal pula suatu teknik yang disebut sebagai systematic desensitization atau teknik pengebalan sistematik.
Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap penampilan. Seorang atlet dapat Baja merasakan ketakutan-ke¬takutan tertentu pada saat bertanding, seperti hal-hal yang berkaitan de¬ngan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada umumnya, angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang sedang menyaksikan.
Namun demikian, keadaan-keadaan seperti ini merupakan hal yang mutlak harus dihadapi. Oleh karena itu, seorang atlet harus mampu menghadapi keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi terse-but merupakan keterampilan individual dan khusus yang diajarkan oleh pelatih atau psikolog olahraganya.
Teknik pengebalan sistematik (systematic desensitization) merupakan latihan bertahap untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu rangsang, sehingga terbentuk habituasi atau pembiasaan. Suatu rangsang yang awalnya menimbulkan gejolak emosi yang sangat tinggi, melalui latihan sistematik tertentu, lambat-laun tidak lagi dipersepsikan negatif. Secara bertahap, akan terjadi pengurangan atau pengenduran reaksi emosi, se¬hingga gejolak emosi pun menjadi stabil.
Jadi, sumber rangsang tidak diubah atau diganti, melainkan di dalam diri atlet terjadi perubahan secara sistematik Gejolak emosi yang pada awalnya sangat tinggi saat menghadapi suatu keadaan, lambat-laun men¬jadi berkurang. Ini merupakan prinsip sistematik desensitisasi, atau upaya untuk mengatur reaksi-reaksi emosi yang bergejolak dalam batas-batas proporsi yang wajar dan tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi transendental. Teknik ini merupakan relaksasi yang dikembangkan dari tradisi India, diperkenalkan di Amerika pada awal tahun 1960-an oleh se¬orang pendeta India, Maharishi Mahesh Yogi.
Keith Wallace dari UCLA merupakan salah satu psikolog pertama yang menyelicliki mengenai teknik tersebut. Penelitian Wallace (1971) me¬nunjukkan bahwa teknik tersebut memberikan efek luar biasa pada tubuh, yaitu detak jantung menurun sampai stabil clan peredaran asam laktat menjadi tiga kali lebih cepat dibandingkan saat beristirahat biasa.
Meditasi transendental merupakan teknik mental yang dapat di¬praktekkan setiap pagi dan malam selama 15 sampai 20 menit, saat sese¬orang duduk nyaman dengan mats tertutup sambil memikirkan suatu 'mantera' tertentu. Setelah 20 menit, ketegangan tubuh akan mengenclor total dan orang yang bersangkutan akan mengalami kondisi yang segar dan dinamis, percaya diri, serta siap untuk beraksi.
Meditasi transendental dilakukan seseorang dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan ke¬giatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks.
Selama meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya na¬mun tanpa beban pikiran apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap menghadapi rangsang apa pun, serta siap memberikan respons yang sesuai dan optimal.
2. Strategi Kognitif
Strategi kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan bahwa pikiran atau proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Jadi, kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan, tidak disebabkan oleh objek dari luar, namun pada hakikatnya bersumber pada inti pikiran atau proses berpikir seseorang.
Misalnya, seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock karena berat atau kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau tidaknya caranya memukul dan kekuatan pu¬kulan adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang seharusnya diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau pukulannya, agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini, tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua perilaku pada atlet.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan ke¬giatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses ber¬pikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Per¬golakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
3. Teknik-teknik Peredaan Ketegangan

Hanya mengetahui "apa" atau "the what"saja mengapa atlet tegang atau takut tanpa mengetahui "the how" atau "bagaimana" cara penyembuhannya tidaklah banyak man¬faatnya dan tidak akan menolong atlet. Oleh karena itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan kete¬rampilan bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa teknik yang bisa membantu menu¬runkan atau mengurangi ketegangan atlet (desensitizatioll, techniques). Antara lain:
a. Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengu¬rangi arti pentingnya pertandingan dalam benak atlet, atau mengurangi ancaman hukuman kalau atlet gagal.
b. Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula disusun suatu urutan (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang paling ditakuti sampai yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan, atlet dihadapkan pada situ¬asi yang paling sedikit membangkitkan anxiety. Setelah atlet terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi terse-but, dia kemudian dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian seterusnya.
c. Teknik progressive muscle relaxation dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks.
d. Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (self-suggestion).
e. Latihan pernapasan dalam (deep breathing).
f. Meditasi.
g. Berpikir positif.
h. Visualisasi.
i. Latihan simulasi: pada waktu latihan, berlatihlah de¬ngan menciptakan situasi seakan-akan sedang betul¬betul bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaik¬baiknya. Lakukan latihan dengan intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet mengalami stres fisik maupun mental.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan ber¬kurang pada waktu menghadapi stres.
4. Mehanisme pertahanan diri
Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang berke¬camuk dalam diri atlet adalah gejala yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah reaksi terhadap perasaan "khawatir akan terancam pribadinya". Karena anxiety yang dialami atlet adalah sesuatu keadaan yang sangat tidal? enak dan selamanya akan berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet, maka dibutuhkan suatu mekanis¬me di dalam kepribadiannya untuk inenolongitya inengotasi atau ineinb,-baskan dirinya dari anxiety tersebut. Mekanis¬me ini biasanya disebut security operation atau defense inechanisin. Jadi mekanisme ini berfungsi sebagai alai agar kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali meka¬nisme ini bekerja demikian efektif sehingga atlet benar¬benar terlindung dari perasaan cemas tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain.
Memang mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer, Pengurus, KONI, dan lain-lain me¬mang betul karena lapangan licin, bola tidak bundar, banyak angin, penonton ribut. Akan tetapi kebanyakan alasannya tidak rasional dan hanya merupakan manifestasi dari pera¬saan kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar dari perasaan cemas dan takut akan dikritik, di-cemooh, dikecam oleh masyarakat, dan agar mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas kekalahan atau kegagalan mereka. Karena itu penyebab kegagalannya dilimpahkan kepada orang atau benda lain di luar dirinya.
Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan melatih para atlet agar tidak membiasakan diri menggunakan defense inechanisin yang tidak wajar sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas. Sebab-sebab dari setiap kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara rasional, intelek¬tual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik atlet agar tidak meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman dan pengertian yang wajar. Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa maturitas mental para atlet sedikit demi sedikit dapat dikembangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Program Mandatori optimalisasi Tugas Dan Fungsi APKS PGRI, LKBH PGRI serta pengelolaan Keanggotaan dan Keuangan melalui PGRI, SLCC PGRI dan DKGI Organisasi

Penguatan Program Mandatori optimalisasi Tugas Dan Fungsi APKS PGRI, LKBH PGRI serta pengelolaan Keanggotaan dan Keuangan melalui PGRI, SLCC...